Saya menemukan sepatu usang dengan sol tebal; sepasang
wedges. Di bagian atap rak buku, dalam kotak berselimut debu, ia terlupakan.
Sepatu itu milik perempuan yang sangat saya sayangi, sangat saya hormati, meski
kami berdua tak melulu saling setuju, perempuan itu ibu saya.
Sebenarnya susah sekali membayangkan, ibu saya- seorang
perempuan sederhana yang menyimpan lipstik-lipstik berusia sepuluh tahun di
dalam lemari rias karena terlalu sayang untuk membuangnya- pernah memiliki dan
memakai sepasang sepatu bersol tebal dari tali rami dengan warna coklat muda yang
senada. Lantai mana saja yang pernah diinjaknya dengan penuh gaya?
Perbincangan tentang wedges
itu membawa ibu kepada kenang-kenangan masa muda. Pada sebuah foto lama
dengan tepian berukir yang kekuningan, ibu ketika muda tersenyum. Ia mengenakan
gaun berwarna biru tua berbunga-bunga dengan rok sebatas betis yang melayang
ringan, rambutnya yang gelap dan panjang diletakkan hati-hati di depan dada,
wajahnya tersenyum tenang dan kedua matanya lurus-lurus menatap ke arah kamera,
tali-tali sepasang sepatu wedges berwarna
coklat muda melingkari kaki-kakinya. Ia begitu cantik, dan saya hanya diwarisi
sepersekian persen kecil kecantikannya.
Saya dan ibu bukan macam anak dan orangtua yang mesra. Kami
tak berbagi cerita selain yang umum-umum saja, tak punya rahasia bersama, tak
saling membelai atau mengecup pipi dan kening masing-masing. Kami punya dunia
sendiri-sendiri. Maka ketika ia membicarakan apa-apa saja yang pernah
dilakukannya dengan sepasang wedges itu
bertahun-tahun yang lampau ketika usianya masih belasan, saya tercengung. Ia tak jauh beda dengan saya. Wedges itu menemaninya saat ia jatuh
cinta, membawanya ke pesta-pesta, menginjak tempat-tempat seru, berkeliling
bertemu orang-orang baru, mendampingi ketika sedih ditinggal teman pergi, ya
seperti saya juga.
Penemuan saya dan percakapan dengan ibu terjadi
bertahun-tahun yang lalu, selagi saya masih duduk di kelas dua sekolah menengah
pertama, masih kanak-kanak yang sok mau dipanggil remaja. Saya bersyukur telah
menemukan sepasang wedges itu lebih
awal, lalu mengenali ibu saya lebih awal. Sekarang, saya dan ibu bertukar
cerita dan rahasia, tak canggung mencium pipi dan kening, juga berbagi make up dan
kadang sepatu juga.
Nukilan pengalaman ini kemudian menjadi cerita pendek
berjudul “Kamu dan Aku, di Suatu Hari”. Satu tulisan dari dua puluh cerita pendek,
enam puisi, dan dua artikel, serta ilustrasi dengan kutipan-kutipan cantik
dalam buku “Sole Mate” karya Mia Haryono dan Grahita Primasari penggagas awal
dan pengampu blog working-paper.com yang diterbitkan oleh Gradien Mediatama. Bersama mereka, saya dan Okke SepatuMerah, Connie Wong, Stephany Josephine, Yessy Muchtar, Kiki Raihan, Anggi Zoraya, Ponti Karamina,
Ch Evaliana, Riesna Kurniati, Cynthia Febrina, Diar Trihastuti, Lia Khairunnisa, Annisa Fitrianda Putri, Nadya A Moeda, Fani Novaria, TiaSetiawati, dan Fatima Alkaff, menceritakan kisah-kisah tentang sepatu di
dalamnya. Pengalaman yang menyenangkan.
Jadi sudah sepantasnya saya berterimakasih; terima kasih ibu, terima kasih wedges temuan.
![]() |
Saya dan Ponti, seru banget baca Sole Mate ;) |
P.S. Terima kasih juga untuk Ponti yang pertama kali
memberitahu tentang proyek ini. Ciyum duluuu....